PALEMBANG – Seorang nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) berinisial (ID) mempertanyakan komitmen dan tanggung jawab bank setelah refund dana top up asuransi yang dijanjikan hingga kini tak kunjung direalisasikan, meski pembiayaan telah dilunasi sepenuhnya sejak dua bulan lalu.
Permasalahan ini bermula saat (ID) menyelesaikan seluruh kewajiban pembiayaannya di BSI dan melakukan konfirmasi terkait pengembalian dana top up asuransi yang melekat pada pembiayaan tersebut. Pihak BSI disebut menyatakan menyetujui proses refund dan menjanjikan penyelesaian dalam waktu maksimal dua bulan.
Namun hingga 5 Desember 2025, tanggal yang disebut sebagai batas akhir penyelesaian oleh pihak BSI sendiri, tidak ada dana refund yang diterima nasabah. Lebih dari itu, tidak ada penjelasan resmi, pemberitahuan tertulis, maupun kejelasan lanjutan dari pihak bank.
Merasa tidak mendapatkan kepastian, (ID) kemudian menghubungi pihak Asuransi Jiwa Syariah Al-Amin secara langsung. Jawaban yang diterima justru mengarah pada penolakan pengembalian dana, memperlihatkan adanya perbedaan sikap yang mencolok antara pernyataan pihak bank dan respons perusahaan asuransi.
Kondisi ini menempatkan nasabah pada posisi paling dirugikan. Pelunasan telah dilakukan, janji telah disampaikan, namun hak nasabah justru menggantung tanpa kejelasan. Situasi tersebut memunculkan pertanyaan serius terkait peran dan tanggung jawab BSI dalam mengawal hak nasabahnya.
Dalam skema pembiayaan perbankan syariah, asuransi yang melekat pada pembiayaan merupakan bagian dari produk yang dipasarkan oleh bank. Nasabah berakad dan berkomunikasi dengan pihak bank, bukan dengan perusahaan asuransi secara terpisah. Oleh karena itu, BSI dinilai tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan adanya mitra asuransi.
“Yang menyampaikan persetujuan refund dan jangka waktu penyelesaian adalah pihak bank. Tapi setelah jatuh tempo, tidak ada kejelasan sama sekali. Saya seperti dipingpong,” ungkap (ID) dengan nada kecewa.
Kasus ini menabrak prinsip dasar perbankan syariah yang menjunjung tinggi amanah, kejelasan akad, dan keadilan. Ketika bank telah memberikan persetujuan refund namun gagal merealisasikannya, maka hal tersebut bukan lagi sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut integritas layanan dan kepercayaan publik.
Hingga berita ini diturunkan, Bank Syariah Indonesia belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan keterlambatan refund, perbedaan sikap dengan pihak asuransi, maupun langkah konkret yang akan diambil untuk menyelesaikan hak nasabah (ID).
Publik kini menunggu kejelasan: apakah Bank Syariah Indonesia akan bertanggung jawab penuh atas janji yang telah disampaikan kepada nasabah, atau justru membiarkan kasus ini berlarut-larut tanpa kepastian?
Kasus ini sekaligus menjadi cermin penting bagi perlindungan konsumen perbankan syariah, bahwa pelunasan pembiayaan seharusnya menjadi akhir dari kewajiban nasabah, bukan awal dari masalah baru. (Indra)
.jpeg)